Jumat, 01 Mei 2015

Apa itu etika bisnis ?



Kata “etika” dan “etis” tidak selalu dipakai dalam arti yang sama dan karena itu pula “etika bisnis” bisa berbeda artinya. Untuk menganalisisnya  arti-arti etika dengan  membedakan antara “etika sebagai praksis” dan “etika sebagai refleksi”. Etika sebagai praksis berati : nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktekan atau justru tidak dipraktekan, walaupun seharusnya dipraktekan. Dapat pula diartikan apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma  moral. Maka Etika sebagai praksis sama artinya dengan moral atau moralitas: apa yang harus dilakukan, tidak boleh dilakukan, pantas dilakukan dan sebagaiya.
Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Dalam etika ini kita berfikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Etika ini juga berbicara tentang etika sebagai praksis mengambil praksis etis sebagai obyeknya serta menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku orang. Etika dalam arti ini dapat dijalankan pada pada taraf populer yang bisa dilihat dari orang-orang yang berkomentar ataupun membicarakan tentang peristiwa-peristiwa  yang berkonotasi etis di berbagai media. Mereka semua melibatkan diri dalam etika sebagai refleksi pada taraf populer. Sedangkan pada tarif ilimiah, pemikiran ilmiah selalu bersifat kritis, artinya tahu membedakan antara yang tahan uji dan yang tidak tahan uji, antara yang mempunyai dasar kukuh dan yang mempunyai dasar lemah. Pemikiran ilmiah bersifat metodis pula, artinya tidak semrawut tetapi berjalan secara teratur dengan mengikuti satu demi satu segala tahap yang telah direncanakan sebelumnya. Akhirnya, pemikiran ilmiah bersifat sistematis, artinya tidak membatasi diri pada salah satu sisi saja tetapi menyoroti suatu bidang sebagai keseluruhan, secara komprehensif.
Etika sebagai ilmu mempunyai tradisi yang sudah lama yang sama panjangnya dengan seluruh sejarah filsafat, karena etika dalam arti ini merupakan suatu cabang filsafat. Karena itu etika sebagai limu sering disebut juga filsafat moral, atau tika filosofis. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani kuno etika filosofis sudah mencapai mutu yang mengagumkan pada Sokrates, Plato, dan Aristoteles dan berlangsung terus selama 25 abad lebih, hingga hari ini.
Hanya dalam etika filosofis, topik-topik moral dibahas secara tuntas dengan metode dan sistematika khusus yang sesuai dengan bidang moral itu. Sebagai contoh dapat disebut topik keadilan. Dalam filsafat moral membahas tentang arti keadilan dan dasar rasional terdalam untuk keadilan. Pada Plato dan Aristoteles sudah terdapat teori yang bermutu tentang keadilan kemudian dilanjutkan hingga saat ini oleh filsuf besar yang menciptakan teori keadilan yang berbobot dalam abad ke 20. Mereka adalah John Rawls, Robert Nozick, dan Michael Walzer.
Etika adalah cabang filsafat yang mempelajari baik buruknya perilaku manusia sehingga disebit “filsafat praksis”. Sejak akhir tahun 1960-an teori etika mulai membuka diri bagi topik-topik konkret dan aktual sebagai obyek penyelidikannya. Perkembangan baru ini sering disebut “etika terapan” (applied ethics). Etika bisnis juga sebaiknya kita lihat sebagai suatu bidang perminatan dari etika terapan.
Seperti etika terapan pada umumnya, etika bisnis pun dapat dijalankan pada tiga taraf : taraf makro, meso dan mikro. Tiga taraf ini berkaitan dengan tiga kemungkinan yang berbeda untuk menjalankan kegiatan ekonomi dan bisnis. Pada taraf makro, etika bisnis mempelajari aspek-aspek moral dari sistem ekonomi sebagai keseluruhan. Jadi, di sini masalah-masalah etika disoroti pada skala besar.
Pada taraf meso (madya atau menengah), etika bisnis menyelidiki masalah-masalah etis di bidang organisasi. Organisasi disini terutama berarti perusahaan, bisa juga serikat buruh, lembaga konsumen, perhimpunan profesi, dan lain-lain.
Pada traf mikro, yang difokuskan ialah individu dalam hubungan dengan ekonomi atau bisnis. Di sini dipelajari tanggung jawab etis dari karyawan dan majikan, bawahan dan manajer, produsen dan konsumen, pemasok dan investor.
Akhirnya boleh ditambahkan catatan tentang nama “etika bisnis”. Di Indonesia studi tentang masalah etis alam bidang ekonomi dan bisnis sudah biasa ditinjukan dengan nama itu, sejalan dengan kebiasaan umum dalam kawasan berbahasa Inggris (business ethics). Tetapi dalam bahasa lain terdapat banyak variasi. Namun pada dasarnya semua nama yang bervariasi  menunjuk kepada studi tentang aspek-aspek moral dari kegiatan ekonomi dan bisnis.

ς 3. Perkembangan etika bisnis

Sepanjang sejarah, kegiatan perdagangan atau bisnis tidak pernah luput dari sorotan etika. Perhatian etika untuk bisnis seumur dengan bisnis itu sendiri. Sekarang ini etika bisnis mencapai status ilmiah dan akademis dengan identitas sendiri. Richard De George mengusukan untuk membedakan antara ethics in business dan business ethics, antara etika dalam bisinis dan etika bisnis. Etika dalam bisnis atau etika berhubungan dengan bisnis berbicara tentang bisnis sebagai salah satu topik disamping sekian banyak topik lainnya. Sedangkan etika bisnis umurnya masih muda. Etika bisnis dalam arti spesifik setelah menjadi suatu bidang (field) tersendiri, maksudnya suatu bidang intelektual an akademis dalam konteks pengajaran dan penelitian di perguruan tinggi. Etika bisnis dalam arti khusus ini untuk pertama kali timbul di Amerika Serikat tahun 1970-an dan agak cepat meluas ke kawasan dunia lainnya. Dengan memanfaatkan dan memperluas pemikiran De george ini kita dapt membedakan lima periode dan perkembangan etika dalam bisnis menjadi etika bisnis.

Situasi Dulu

Dalam filsafat dan teologi Abad pertengahan pembahasan bagaimana kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur dilanjutkan dalam kalangan Kristen maupun Islam. Topik-topik moral sekitar ekonomi dan perniagaan tidak luput pula dari perhatian filsafat dan teologi di zaman modern.
Dengan membatasi diri pada situasi Amerika Serikat selama paro pertama abad ke 20, De george melukiskan bagaimana di perguruan tinggi masalah topik moral sekitar ekonomi dan bisnis terutama disoroti dalam teologi. Dalam kalangan Katolik, pada umumnya mata kuliah itu mendalami “Ajaran Sosial Gereja”, yaitu uraian sistematis dari ajaran para paus dalam ensiklik-ensiklik sosial, mulai dengan ensiklik Rerum Novarum (1891) dari Paus Leo XIII. Hingga saat ini para paus mengelurkan ensiklik-ensiklik sosial baru sampai dengan Sollicitudo Rei Socialis (1987) dan Centesimus Annus (1991) dari Paus Yohanes Paulus II. Suatu contoh bagusnya adalah dokumen pastoral yang dikeluarkan para uskup Amerika Serikat dengan judul Economic Justice for All. Catholic Social Teaching and the U.S. Economy (1986). Dalam kalangan Protestan, buku teolog Jerman Reinhold Niebuhr Moral Man and Immoral Society (New York, 1932) menjalankan pengaruh besar atas pengajaran etika mengenai tema-tema sosio-ekonomi dan bisnis di perguruan tinggi mereka.

Masa peralihan : tahun 1960-an

Dasawarsa 1960-an di Amerika Seikat dan dunia Barat pada umumnya ditandai oleh pemberontaan terhadap kuasa dan otoritas, revolusi mahasiswa (mulai di ibukota Prancis bulan Mei 1968), penolakan trhdap establishment (kemapanan). Suasana tidak senang khususnya kaum muda itu diperkuat dengan keterlibatan Amerika Serikat dalm perang Vietnam. Secara khusus kaum muda menolak kolusi yang dimata mereka terjadi antara militer dan industri. Industri dinilai terutama melayani kepentingan militer. Serentak timbul kesadaran akan masalah ekologis dan terutama industri diannggap sebagai penyebab masalah lingkungan hidup. Pada waktu yang sama timbul juga suatu sikap anti-konsumeristis. Semua faktor itu mengakibatkan suatu sikap anti-bisnis pada kaum muda, khususnya mahasiswa.
Dunia pendidikan menanggapi situasi tersebut dengan cara yang berbeda-beda. Salah satu reaksi paling penting adalah memberi perhatian khusus kepada sosial issues dalam kuliah tentang manajemen, yang dalam kurikulumnya diberi nama Business dan Society. Salah satu topik yang menjadi populer adalah Corporate social responsibility (tanggung jawab soaial perusahaan). Pendekatan itu diadakan dari segi manajemen, dengan sebagian melibatkan hukum dan sosiologi, tetapi teori etika filosofis belum dimanfaatkan.

Etika bisnis lahir di Amerika Serikat : tahun 1970-an

Ada dua faktor yang memberi kontribusi besar kepada kelahiran etika bisnis di Amerika Serikat pada pertengahan tahun 1970-an: sejumlah filsuf mulai terlibat dalam memikirkan masalah-masalah etis sekitar bisnis, dan etika bisnis dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang meliputi dunia bisnis di Amerika Serikat dengan dibantu oleh ahli ekonomi dan manajemen. Dengan itu mereka meneruskan tendensi etika terapan pada umumnya, yang selalu berorientasi multidisipliner. Norman E. Bownie menyebut suatu kerja sama macam itu sebagai tanggal kelahiran etika bisnis, yaitu konferensi perdana tentang etika bisnis di Universitas Kansas oleh Philosophy Departement (Richard De George) bersama College of Business (Joseph Pichler) bulan November 1974. Makalahnya kemudian diterbitkan dalam bentuk buku : Ethics, Free Enterprise, and Public Policy : Essays on Moral Issues in Business (1978).
Faktor kedua yang memicu timbulnya etika bisnis sebagai suatu bidang studi yang serius adalah krisis moral. Pada awal 1970-an terjadi skandal dalam bisnis Amerika, di mana pebisnis berusaha menyuap politisi kepada kampanye politik. Lockheed Affair, kasus korupsi yang melibatkan perusahaan pesawat terbang Amerika yang terkemuka. Krisis menjadi lebih besar dengan menguaknya “Watergate Affair” yang akhirnya memaksa Presiden Richard Nixon mengundurkan diri.

Etika bisnis meluas ke Eropa : tahun 1980-an

Di Eropa etika bisnis sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira sepuluh tahun kemudian, mula-mula di Inggris kemudian ke negara Eropa Barat lainnya. Semakin banyaknya fakultas ekonomi atau sekolah bisnis di eropa mencantumkan mata kuliah etika bisnis, pada tahun 1983 diangkat profesor etika bisnis pertama di suatu universitas di Eropa yaitu Universitas Nijenrode, Belanda. Perkembangan pesatpun terjadi di saat anggaran belanja universitas di mana-mana diperketat akibat kesulitan finansial. Maka di tempat chair dalam etika bisnis disponsori oleh dunia bisnis, seperti di Inggris pada sekolah bisnis Leeds, Manchester dan London. Pada Tahun 1987 didirikan European Business Ethics Network (EBEN) yang bertujuan menjadi forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta sekolah bisnis, para pengusaha dan wakil-wakil dari organisasi nasional maupun internasional seperti misalnya serikat buruh. Sebagian bahan konferensi telah diterbitkan dalam bentuk buku.
          
Etika bisnis menjadi fenomena global : tahun 1990-an

Kini etika bisnis dipelajari, diajarkan dan dikembangkan diseluruh dunia. Sejak dimulainya liberalisasi ekonomi di Eropa Timur, apalagi sejak runtuhnya komunisme akhir tahun 1980-an, dirasakan kebutuhan besar akan pegangan etis karena disadari peralihan ke ekonomi pasar bebas tidak bisa berhasil jika tidak disertai etika bisnis. Di Institusi Jepang yaitu Institute of Moralogy yang bermukim di Universitas Reitaku di Kashiwa-Shi yang disponsori pemerintah Jepang berusaha mendekatkan etika dengan praktek bisnis. Pada tahun 1989 dan 1991 mereka menyelenggarakan konfrensi tentang etika dalam ekonomi global, yang dihadiri oleh akademisi dari seluruh Asia. Di India, etika bisnis dipraktekan oleh Management Center of Human Values yang didirikan oleh dewan direksi dari Indian Institute for Management di Kalkuta tahun 1992. Pusat yang dipimpin Prof. S.K Chakraborty ini sejak 1995 mengeluarkan majalah yang berjudul Journal of Human Values. Juga di Hongkong tahun 1997, pengalaman dengan beberapa kasus korupsi mendirikan Independent Comission Against Corruption tahun 1974. Universitas Hongkong memiliki Center of Business Values (1994). Sedikit sebelumnya Hongkong Baptist College mendirikan Center for Applied Ethics.
Tanda bukti terakhir bagi sifat global etika bisnis adalah didirikannya International Society  for Business, Economics, and Ethics (ISBEE). ISBEE mengadakan pertemuan perdananya dengan The First World Congress of Business, Economics and Ethics di Tokyo pada 25-28 Juli 1996 dengan membawakan 12 lapaoran situasi etika bisnis di kawasan dunia. Kongres kedua berlangsung di Sao Paolo, Brasil, tahun 2000.
    
ς 4. Profil etika bisnis dewasa ini

Setelah etika bisnis memiliki status ilmiah yang serius dan semakin diterima, etika bisnis harus terus bergumul untuk membuktikan diri sebagai disiplin ilmu yang dapat disegani. Namun sudah mencapai status sebagai suatu bidang intelektual dan akademis yang pantas diperhitungkan. Gambaran profil ilmiah dari etika bisnis sebagaimana tampak sekarang.
Praktis di segala kawasan dunia etika bisnis diberikan sebagai mata kuliah di perguruan tinngi. Kedudukannya yang begitu kuat tersebut merupakan ciri pertama yang menunjukan status ilmiahnya.
Banyak sekali publikasi diterbitkan tentang etika bisnis.
Sekurang-kurangnya sudah ada 3 seri buku :
–          The Ruffin Series in Business Ethics, New York, Oxford University Press, sejak 1989, editor: R. Edward Freeman;
–          Issues in Business Ethics, Dordrecht (Belanda), Kluwer Academic Publishers, sejak 1990, editors: Brian Harvey, Manchester Business School, U.K., Patricia Werhane, University of Virginia, USA;
–          Sage Series in Business Ethics, Thousand Oaks, California, Sage Publication, sejak 1995, editor: Robert A. Giacalone, University of Richmond.
Banyak jurnal ilmiah khusus tentang etika bisnis. Munculnya jurnal berspesialisasi merupakan suatu gejala penting yang menunjukan tercapainya kematangan ilmiah bagi bidang bersangkutan.
Dalam bahasa Jerman sudah tersedia sebuah kamus tentang etika bisnis: Lexicon der Wirtschaftsethik (kamus etika ekonomi), diredaksi oleh G. Enderle, K. Homann, M. Honecker, W. Kerber, H. Steinmann dan diterbitkan oleh Herder, Freiburg/Basel, 1993. Kemudian menyusul kamus etika bisnis dalam bahasa inggris: Blackwell’s Encylopedic Dictionary of Business Ethics, editor: Patricia Wehane dan Edward Freeman, diterbitkan oleh Blackwell Publishing, Oxford (1997).
Banyak ditemukan Institut penelitian yang secara khusus mendalami masalah etika bisnis.
Sudah didirikan asosiasi atau himpunan dengan tujuan khusus memajukan etika bisnis, terutama dengan mengumpulkan dosen-dosen etika bisnis dan peminat lain dalam pertemuan berkala.
Di Amerika Serikat dan Eropa Barat disediakan beberapa program studi tingkat S-2 dan S-3, khusus di bidang etika bisnis.

ς 5. Faktor sejarah dan budaya dalam etika bisnis

Sikap positif tidak selamanya menandai pandangan terhadap bisnis. Sebaliknya, sikap negatifnya berlangsung terus sampai zaman modern dan baru menghilang seluruhnya sekitar waktu indusrialisasi. Berikut pandangan etis tentang perdagangan dan bisnis berkaitan erat dengan faktor sejarah dan budaya.

Kebudayaan Yunani Kuno

Masyarakat Yunani kuno pada umumnya berprasangka terhadap kegiatan dagang dan kekayaan. Warga negara yang bebas seharusnya mencurahkan perhatian dan waktunya untuk kesenian dan ilmu pengetahuan (filsafat), di samping tentu memberi sumbangsih kepada pengurusan negara dan kalu mendesak turut membela negara. Pandangan negatif itu ditemukan juga dalam filsafat Yunani kuno. Pada filsuf Plato (427-347 SM) hal itu tampak jelas dalam karya terakhirnya berjudul Undang-Undang. Menurut Plato negara ideal adalah negara agraris  yang sedapat mungkin berdikari, sehingga hampir perdagangan hampir tidak perlu. Perdagangan mempertebal keserakahan manusia. Yang paling berharga bagi manusia adalah keutamaan dan bukan kekayaan duniawi.
Penolakan itu diberi dasar lebih teoritis oleh Aristoteles (384-322 SM). Dalam karyanya Politica ia menilai sebagai tidak etis setiap kegiatan menambah kekayaan. Ia membedakan antara oikonomike tekhne dan khrematistike tekhne. Yang satu diniali etis, sedangkan yang lain ditolak karena menyalahi batas etika.
Ekonomi (oikonomia = pengaturan rumah tangga ; oikos= rumah, rumah tangga ; nomos = pengaturan, aturan, hukum) adalah tukar menukar untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Pertukarannya bisa barter ataupun memakai uang. Karena itu, uang dipakai menurut kodratnya (nature), sebagai alat tukar sehingga wajar. Ia mengatakan bahwa ekonomi itu “dalam batas”.
Krematistik (khremata = harta benda, kekayaan) adalah menukar barang dengan uang hanya untuk menambah kekayaan. Dengan demikian uang menjadi tujuan sendiri yaitu kekayaan sering dipandang sebagai terdiri atas setumpuk uang, Aristoteles mengatakan bahwa khrematistik itu “tak terbatas”, karena selalu terarah kepada uang lebih banyak lagi. Ia juga memasukan riba atau bunga uang kedalam krematistik karena dinialai sebagai bentuk krematistik yang paling jelek, karena uang dipakai paling bertentangan dengan kodratnya.
Bukti lain adalah kenyataan bahwa dewa Yunani Hermes dihormati sebagai dewa pelindung baik bagi pedagang maupun pencuri. Tetapi rupanya dengan itu tidak dimaksudkan suatu kualifikasi etis. Sedangkan menurut para pakar, kebudayaan  Yunani kuno, Hermes adalah dewa pelindung semua orang yang mempergunakan jalan yaitu pedagang dan pencuri karena termasuk orang yang bepergian dan mempergunakan jalan.

Agama Kristen

Dalam Kitab Suci Kristen terdapt cukup banyak teks yang bernada kritis terhadap kekayaan dan uang, dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.Misalnya dalam Mazmur 49:17-18, Lukas 6:20.24, Matius 19:24, Matius 6:24, Lukas 6:9, 1 Timotius 6:10 dan Ibrani 13:15. Meskipun Alkitab tidak menolak perdagangan, tetapi perdagangan merupakan salah satu jalan biasa menuju kekayaan.
Dalam kalangan Kristiani pada zaman kuno dan abad pertengahan, profesi pedagang dinilai kurang pantas. Maka urusan niaga diserahkan kepada orang Yahudi. Agustinus (354-430) menegaskan bahwa seorang pedagang barangkali bisa berkelakuan tanpa dosa, tapi tidak mungkin ia berkenan di hati Tuhan. Seorang teolog dari abad 5 atau 6 bahkan memperluas pendapat Agustinus dengan lebih ekstrim. Ia mengklaim bahwa adegan dalam Injil saat Yesus mengusir para pedagang dan penukar uang dari Bait Allah di Yerusalem itu karena mereka tidak pernah berkenan di hadapan Tuhan. Teks dari abad ini kemudian dimuat dalam Decretum Gratiani (akhir abad 21), sebuah dokumen sangat penting di bidang hukum Gereja dalam abad pertengahan. Riwayat itu mendapat kedudukan terpandang selama berabad-abad.
Dalam tahun pertama dari majalah Business Ethics Quarterl berlangsung polemik antara David Vogel dan Thomas McMahon tentang pandangan Kristen zaman kuno dan abad pertengahan. Vogel berpendapat  bahwa dalam periode Kristiani sebelum reformasi bisnis dianggap tidak etis atau sekurang-kurangnya sangat dicurigakan. Namun McMahon menganggap pendapat itu terlalu berat sebelah dan mengemukakan banyak teks dari periode pra-reformasi di mana tampak sikap lebih konstruktif terhadap egiatan bisnis. Kesimpulan dari pendapat mereka bahwa masalah pandangan Kristen pra-reformasi tentang perdagangan perlu didekati dengan nuansa yang seperlunya.
Disamping itu banyak pengarang Kristen yang memandang perdagangan dengan cara lebih positif. Sebagai contoh, Thomas Aquinas, filsuf dan teolog besar dari abad 13. Ia menolak penipuan dan praktek curang lainnya dalam bisnis tetapi bisnis adalah sah karena memang tujuannya mencari keuntungan sehingga tidak mengandung sesuatu yang berdosa.
Dalam pandangan Protestan, memperoleh untung dengan berdagang dinilai sebagai pertanda berkat Tuhan atas kerja keras orang beriman. Dalam perspektif serupa, kecurigaan terhadap bisnis mulai menghilang. Perubahan padangan itu tentu berkaitan dengan apa yang dikenal sebagai “tesis Weber”. Dalam sebuah studinya, sosiolog Jerman Max Weber (1864-1920), menjelaskan bahwa timbulnya kapitalisme dipengaruhi dan didorong oleh etos kerja Protestantisme, khususnya Calvinisme. Etika Calvinisme ditandai oleh sifat-sifat yang kondusif untuk kegiatan bisnis. Modal yang dihemat sehingga bisa diinvestasi lagi dalam usaha yang produktif dan sukses dalam usaha dilihat sebagai pahala dari Tuhan.
Agama Islam

Dalam agama Islam tampak pandangan positif terhadap perdagangan dan kegiatan ekonomis. Nabi Muhamad sendiri adalah seorang pedagang dan ajaran agama Islam mula-mula disebarkan terutama melalui pedagang Muslim. Al-Quran sendiri terdapat peringatan terhadap penyalahgunaan kekayaan, tetapi tidak dilarang mencari kekayaan  dengan cara halal. Ayat Al-Quran yang terpenting adalah ayat 275 surat al-Baqorah yang menyatakan Allah telah menghalalkan perdagangan dan melarang riba.
Riba memang dilarang di seluruh dunia, namun yang menarik adalah membedakan riba dan bunga uang. Riba (usury) dimaksudkan bunga uang berlebihan yang dituntut dari orang yang kepepet karena situasi ekonomi yang khusus. Sedangkan bunga uang adalah balas jasa yang diberikan kepada orang yang meminjamkan uang untuk usaha produktif. Orang yang menyetujui pembedaan itu ialah ekonom Indonesia yaitu Muhammad Hattta, dalam tulisan yang berjudul “Islam dan rente”. Riba adalah tambahan tidak wajar atas utang yang dipakai untuk konsumsi. Rente adalah imbalan untuk pinjaman yang digunakan untuk usaha produktif. Riba sama dengan pemerasan, rente bersifat businesslike. Namun kalangan Islam dewasa ini tidak semua orang bisa menerima pembedaan tersebut.

Kebudayaan Jawa

Clifford Geertz pada tahun 1950-an menyelidiki struktur sosial dari kota Jawa Timur yang disebutnya Modjokuto (nama samaran untuk Pare), ia menemukan empat golongan : priyai, para pedagang pribumi (wong dagang), orang kecil yang bekerja sebagai buruh tani atau tukang (wong cilik), orang Tionghoa (wong Cina). Yang menjadi penting yaitu perbedaan antara priyayi dan wong dagang. Para priyai bekerja sebagai pegawai di bidang pemerintahan dan sedikit memegang fungsi “kerah putih” dalam pabrik-pabrik kecil. Golongan priyayi membentuk elite politik dan kultural, yang menjauhkan diri dari perdagangan. Golongan para pedagang pribumi (oleh Koentjaraningrat disebut saudagar atau kauman), yang menjadi perputaran roda ekonomi bersama dengan orang Tionghoa.
Dalam karyanya ternama, Religion of Java, Clifford Geertz menjelaskan bagaimana memiliki kekayaan dan terutama menjadi kaya dengan mendadak dalam masyarakat jawa dikaitkan dengan bantuan tuyul. Orang yang memelihara tuyul bukanlah golongan priyayi. Dalam tradisi kebudayaan Jawa kekayaan ternyata dicurigakan. Secara spontan kekayaan tidak dihargai sebagai jerih payah seseorang atau sebagai prestasi dalam berusaha.

Sikap modern dewasa ini

Sekarang kegiatan bisnis dinilai sebagai pekerjaan terhormat dan semakin dibanggakan sejauh membawa sukses karena adanya jalan tengah antaran egoisme dan altruisme. Maka, hakikat bisnis, di antara nilai dan norma adalah jangan merugikan kepentingan orang lain serta jangan menjadikan bisnis itu pekerjaan kotor, bisnis harus tahu diri, dan bisnis membutuhkan etika.
Namun keprihatinan moral dengan bisnis kini tampak, sejalan kita hidup di zaman konglomerat dan korporasi multinasional, zaman kapitalisme, bahkan sejak runtuhnya komunisme, bisnis telah menjadi big business. Dengan akibat bisnis mencapai posisi kekuasaan ekonomi yang besar. Kemudian masalah etika bisnis terbesar dewasa ini adalah masalah kuasa yang tidak bisa dikontrol dan dibatasi. Seperti yang dikatakan Lord Acton (abad 19) tentang kuasa politik, berlaku juga bagi kuasa ekonomis seperti yang terkenal “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”. Malah dalam era globalisasi sekarang,, jika kuasa ekonomi merajalela dengan leluasa, tidak dipungkiri ekonomi lemah menjadi korban.

ς 6. Kritik atas etika bisnis

Etika bisnis memang harus terbuka bagi kritik yang membangun, tetapi terkadang etika bisnis juga menjadi bulan-bulanan kritik yang tidak tepat. Berikut adalah gambaran tentang corak dan maksud etika bisnis sebagaimana dipahami sekarang ini.

Etika bisnis mendiskriminasi

Kritik ini lebih menarik karena sumbernya daripada isinya. Sumbernya adalah Peter Drucker, ahli ternama dalam bidang teori manajemen. Ia mengemukakan kritik yang tajam tentang etika bisnis yang artikelnya diterbitkan dalam majalah The Public Interest, kemudian lebih populer lagi dan diulangi lagi dalam majalah Forbes.Responnya ditanggapi Bowie yang menilai kritik Drucker sebagai intemperate and uninformed juga oleh Hoffman dan Jennifer Moore.
Inti keberatan Drucker adalah bahwa etika bisnis menjalankan diskriminasi yaitu dunia bisnis harus dibebankan secara khusus dengan etika dan diukur dengan standar etis lebih ketat dari bidang-bidang lainnya. Menurutnya hanya ada satu etika yang berlaku bagi semua orang, penguasa atau rakyat jelata, kaya atau miskin, yang kuat dan yang lemah serta etika bisnis itu menunjukan adanya sisa-sisa dari sikap bermusuhan yang lama terhadap bisnis dan kegiatan ekonomis.

Etika bisnis itu kontradiktif

Muncul suatu skepsis dari orang-orang yang menilai etika bisnis sebagai suatu usaha naif. Etika bisnis mengandung suatu kontradiksi. Dunia bisnis itu ibarat rimba raya artinya etika dan bisnis itu bagaikan air dan minyak.

Etika bisnis tidak praktis

Kritik etika bisnis yang menimbulkan banyak reaksi adalah artikel yang dimuat dalam Harvard Business Review (1993) dengan judul “what’s the matter with business ethics?”. Pengarangnya adalah Andrew Stark yaitu dosen manajemen di Universitas Toronto, Kanada. Menurut Stark, etika bisnis adalah “too general, too theoretical, too impratical”. Ia menilai kesenjangan besar menganga antara etika bisnis akademis dan para profesional di bidang manajemen. Ia mendengan pertanyaan sejauh mana kapitalisme bisa dibenarkan atau apakah dari segi etika harus diberi preferensi kepada sosialisme, dan memberi komentar: “apa yang mereka hasilkan itu sering kali lebih mirip filsafat sosial yang muluk-muluk daripada advis etika yang berguna untuk para profesional”. Maka, Stark dinilai menganggap etika bisnis tidak praktis.

Etikawan tidak bisa mengambil alih tanggung jawab

Kritisi ini meragukan entah etika bisnis memiliki keahlian etis khusus, yang tidak dimiliki oleh para pebisnis dan manajer itu sendiri. Setiap manusia merupakan pelaku moral yang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Kita tidak membutuhkan etika bisnis mereka tegaskan yang datang menjelaskan apa yang harus kita perbuat atau apa yang tidak boleh kita perbuat. Kita sendiri harus mengambil keputusan di bidang moral. Tidak ada jalan lain.
Tetapi sebenarnya bagaimanapun juga etikawan sama sekali tidak berprestasi mengambil alih tanggung jawab moral dari orang lain. Bagi etika bisnis pun berlaku peribaha Inggris. Peribahasa itu ialah “you can lead the horse to the water, but you can not make him drink”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar